8 maret 2013
Pagi ini aku kembali berdebat dengan sahabat ku. Rasanya sangat
sedih berdebat dengannya karena orang lain. Menurut hemat ku, dia terlalu
berlebihan dalam mengambil tindakan. Malu rasanya dengan dosen yang
bersangkutan.
Masalah ini sekitar 2 minggu lalu. Aku melakukan kesalahan yang
fatal sekali menurut ku. Dari awal aku kuliar di UIR ini pertama kalinya aku
tidak ikut menyelesaikan tugas. Aku tidak menyalahkan temanku, aku akui
kesalahanku. Aku tidak bertanya apakah tugas kelompok kami sudah selesai atau
belum, hal itu terjadi karena aku benar-benar lupa. Kebetulan silabus dipegang
oleh temanku.
Saat kelompok pertama yaitu kelompok kami tampil aku berusaha
meyakinkan diriku kalau diskusi saat itu akan berjalan dengan baik. Namun, jauh
dari apa yang aku perkirakan diskusi kami tidak berjalan baik atau boleh
dibilang diskusi kami hancur karena kami tidak menguasai bahan atau materi.
Aku melihat kekecewaan dari dosen yang bersangkutan, karena
makalah yang disusun oleh temanku itu jauh dari kata baik apalagi sempurna.
Banyak kesalahan dalam makalah itu. Dosen pembimbing mata kuliah kami telah
menjelaskan kesalahan dan kekurangan kami dan Al-hamdulillah kami diizinkan
untuk mengulang makalah kami.
Merasa diskusi tidak bisa siatasi lagi, akhirnya dengan susah
payah aku mengumpulkan keberanianku untuk mengakui kesalahan kami. “ Mohon maaf
bu, sebelumnya kami minta maaf atas kekurangan kami karena tidak menguasai
materi diskusi hari ini. Jujur saja bu,
yang menyusun makalah ini hanya satu orang dan kami baru mendapatkan copyannya
sore ini. Memang ini kesalahan kami tidak bertanya kepada penyusun makalah ini,
kebetulan silabus hanya dia yang pegang bu. Namun sebelumnya kami sudah
pesankan kalau hendak mengerjakan tugas kelompok tolong kabari kami. Menurut
saya bu, kalaupun diskusi ini diteruskan tidak akan efisien. Sekali lagi kami
mohon maaf bu, bagaimana jika kami mengulang saja tugas kami ini bu, itupun
jika ibu mengizinkannya” kurang lebih seperti itulah pengakuan yang keluar dari
mulutku sore itu.
Sudah wajar kalau beliau sebagai dosen marah kepada kami.
Mahasiswa semester 6 yang sudah dianggap senior tidak mampu menyelesaikan tugas
kelompok dengan baik. Sampai akhirnya beliau menyatakan kami gagal dalam
diskusi dan hanya penyusun makalah yang mendapat nilai. Kami patut bersyukur
karena beliau mengizinkan kami untuk mengulang makalah sekaligus diskusi
setelah seluruh kelompok tampil.
Lama aku merenung samabil mendengar masukan dari dosen
pembimbing. Akhirnya aku menemukan sebuah ide yang langsung aku sampaikan
kepada anggota lain yang duduk di sebelah kiriku. Aku mengutarakan ideku,
bagaimana kalau penyusun makalah yang sudah dapat nilai tidak usah ikut
perbaikan. Sebab yang melakukan kesalahan adalah kami. Sedah petautnya kamilah
yang mengulang tanpa harus melibatkannya lagi. Kasihan kalau dia harus berfikir
dua kali karena kesalahan kami. Hal itu
pun jika penyusun menyetujuinya. Hampir seluruh anggota lain yang mendengarkan
ide itu menyetujuinya. Setelah perkuliahan
di tutup oleh dosen. Kami menghampiri temanku yang menyusun makalah.
Kami tanyakan mengenai ideku tadi.
“ Kalau aku sudah dapat nilai, nggak ikut perbaikan juga nggak
apa-apa” itu kalimat yang dilontarkannya.
Aku langsung menemui dosen pembimbing yang baru keluar dari
kelas. Aku sampaikan apa yang sudah kami sepakati kepada beliau dan beliau
menyetujuinya “ Begitupun bagus” begitu kata beliau. Sebelum itu, aku tanyakan
terlebih dahulu apakan temanku sudah dapat nilai? Beliau mengatakan sudah,
tetapi bila dalam diskusi nanti temanku boleh menambahkan jawaban kami. Aku
sampaikan kepada temanku yang menyusun makalah tersebut kalau dosen pembimbing
mengizinkan hal itu.
Menurut hemat ku, masalah itu sudah selesai karena kami sudah
saling menyetujui. Tetapi tidak untuk temanku yang menyusun makalah tersebut.
Dia mengadu kepada sahabat terbaikku yang kebetulan menjabat sebagai ketua kelas. Namun sayang dia tidak
menceritakan yang sebenarnya kepada sahabatku. Tanpa ada rasa bersalah dia
mengatakan kalau aku melarangnya untuk ikut perbaikan. Sebenarnya saat itu aku
ingin marah, terlebih lagi sahabtku mengintrogasi aku. Seolah aku benar
melarang temanku tersebut untuk perbaikan.
“ Aku memang bodoh, tapi gak bodoh-bodoh kali kok, sebelum aku
bertanya kepada ibu, aku sudah tanyakan terlebih dahulu sama dia dan dia
menyetujuinya. Setelah itu baru aku sampaikan kepada ibu dan ibu juga
menyetujuinya. Lalu menurutmu masih aku yang salah? Kalau memang dia mau ikut
perbaikan mengapa tidak bicara langsung kepada kami?” dengan susah payah aku
menahan emosiku saat menyampaikan itu kepada sahabatku.
Kecewa sekali saat tadi pagi sahabatku mengatakan kalau dia sudah menelpon dosen
pembimbing sepulangnya dai dari kos ku minggu lalu. Entah mengapa aku merasa
sahabatku sudah bertindak terlalu jauh atau mungkin memang aku yang bodoh.
Sahabtku mengatakan “ sebanyak orang baru ibu yang menyalahkan tindakanku ini”.
Saat itu aku bertanya dalam hatiku, sebodoh inikah aku sampai hal seperti ini
harus bergulir seperti piala dari temanku kepada sahabatku lalu bergulir lagi
kepada dosenku.
Sebagai mahasiswa yang melakukan kesalahan secara pribadi aku
malu kepada dosenku. Menurutku, akan lebih baik jika sahabatku mendiskusikannya
terlebih dahulu kepada kami berdua. Tapi, sudahlah! Beras sudah menjadi nasi, tidak
akan mungkin lagi berubah menjadi beras.
Kemarin setelah mata kuliah usai, aku tidak mengetahui apa
tujuan temanku hendak bertanya lagi kepada dosen pembimbing mengenai perbaikan
makalah kami. Secara tidak langsung pikiran negatif bermain-main di kepalaku.
Beginikah caranya untuk mencemarkan namaku, astaghfirullahal’azim!!! Aku
pasrahkan semuanya.
Dan pagi tadi aku benar-benar tidak dapat membendung air mataku
yang telah menyesakkan dadaku. Mungkin itu pemikiranku saja, sabahatku
lebih berpihak kepada temanku daripada
ke aku sahabatnya sendiri yang sudah dia kenal lebih dari orang lain
mengenalku. Hal itu terbukti dari caranya menyudutkanku dan berusaha membantu
temanku untuk bertemu dengan dosen
pembimbing. Ya, walau hal itu tidak sempat terjadi tetapi adanya rencana telah
mengganggu pikiranku.
Sahabatku selalu mengatakan aku tidak membela siapa-siapa. Dalam
hal ini aku tidak memandangmu sebagai sahabatku. Tepai entah mengapa aku tidak
merasa demikian yang aku yang merasakan perlakuannya bukan dia.Aku berusaha bersikap senetral
mungkin, walau sebenarnya hatiku kecewa atas sikap sahabatku. Apakah dia tau
bagaimana aku berusaha untuk diam tanpa mengungkit semua itu kepada temanku.
Hati kecilku ingin menghampirinya dan menanyakan semuanya, tapi aku khawatir
kalau ujung-ujungnya semakin memanas.
Allah, aku serahkan semua kepada-Mu!
Tapi aku mohon jangan jadikan aku manusia pendendam. Berikan aku
kesabaran walau banyak orang yang menghina dan menjengkali kemampuanku yang
tidak seberapa ini. Aku yakin Engkau yang lebih tau mana yang terbaik untukku.
Untukmu wahai sahabatku, terimakasih telah mau mendengar cerita
dan keluh kesahku hari ini. Maafkanlah aku jika kata-kataku hari ini melukaimu.
Jika aku terlalu bodoh hingga menyalahkan tindakanmu yang aku yakin semua itu
untuk kebaikan bersama di kelas kita.
Aku yakin engaku yang lebih mengenal dan memahami aku daripada
teman-teman lain. Engkau juga dapat menilai semua itu!!